Festival Kali Maro Pantai Arafura 2025: Antara Panggung Meriah dan Ancaman Senyap Punahnya Budaya Marind

Padahal kedaulatan pangan lokal adalah identitas kita.

Mama - mama papua mengenakan pakaian adat dalam Festival

Merauke, Papua Selatan – Panggung Festival Kali Maro Pantai Arafura dan Dahun Anggai kembali semarak. Selama lima hari, 1–5 Oktober 2025, Kampung Urumb dan pesisir Pantai Arafura dipenuhi warna-warni busana adat, tabuhan tifa, tarian sakral, dan aneka pangan lokal dari sagu, kelapa hingga hasil laut. Semua tampak hidup, semua terasa meriah.

Namun di balik gegap gempita itu, tersimpan kegelisahan yang lebih dalam: budaya Marind dan masyarakat adat di Papua Selatan sedang berjalan di garis tipis antara lestari dan punah.

Ketua Panitia Festival, Wilibrodus Mahuze, menegaskan bahwa tema tahun ini, “Melestarikan Budaya Untuk Persatuan dan Persaudaraan di Tanah Marind”, adalah panggilan mendesak.

“Kalau kita tidak menjaga budaya hari ini, jangan kaget kalau besok hanya tinggal cerita di museum atau di buku sekolah,” ujar Mahuze dengan nada tegas.

Realitas di lapangan menunjukkan sinyal bahaya. Banyak tarian adat hanya dipentaskan saat festival, bukan lagi menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Anak-anak muda Marind lebih fasih menirukan tren TikTok ketimbang menghafal syair-syair adat leluhur.

Bahasa Marind sendiri, menurut catatan akademisi di Universitas Musamus, makin jarang digunakan di rumah tangga muda.

Di sisi lain, masuknya arus migrasi, ekonomi modern, serta gaya hidup instan membuat pangan lokal seperti sagu, keladi, dan ubi mulai tersisih oleh beras impor dan makanan cepat saji.

“Padahal kedaulatan pangan lokal adalah identitas kita. Kalau pangan kita hilang, identitas ikut hilang,” jelas salah satu tokoh adat dari Kampung Matara.

Bagi Mahuze, Festival Kali Maro kali ini bukan hanya pesta budaya. Ia adalah alarm kolektif yang membangunkan masyarakat bahwa ada sesuatu yang sedang rapuh di dalam tubuh budaya Papua Selatan. Merauke dikenal sebagai “jendela peradaban” di Tanah Papua, tetapi tanpa kesadaran kolektif, jendela itu bisa berubah jadi pintu keluar bagi tradisi yang ditinggalkan generasinya sendiri.

Panitia berharap, perayaan tahunan ini bisa masuk kalender nasional setiap 1–5 Oktober, agar gaungnya tidak hanya lokal tetapi juga nasional. Dukungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten diharapkan bisa menjadikan festival ini motor utama melestarikan budaya sekaligus menguatkan ekonomi masyarakat adat.

Panggung sudah berdiri, lagu dan tarian sudah ditampilkan, tapi apakah cukup? Apa yang terjadi setelah festival usai, ketika lampu panggung dimatikan dan penonton pulang? Apakah tradisi itu kembali disimpan, atau benar-benar dijaga dalam kehidupan sehari-hari?

Festival ini mengingatkan kita bahwa melestarikan budaya bukan hanya urusan panitia atau pemerintah, melainkan tanggung jawab setiap orang Papua Selatan. Karena budaya tidak punah tiba-tiba; ia perlahan menghilang ketika kita mulai berhenti menggunakannya. (*)



#Budaya
SHARE :
LINK TERKAIT